Jumat, 03 April 2009

ZULQARNAIN, MODEL PENGUASA ADIDAYA

ZULQARNAIN, MODEL PENGUASA ADIDAYA
Oleh: Asep Sobari

Jika dicermati, pemaparan Al-Qur’an tentang kisah Zulqarnain sangatlah unik. Penguasa besar yang kerajaannya terbentang dari timur hingga barat ini diceritakan hanya dalam enam belas ayat (QS Al-Kahfi: 83-98). Itupun tanpa menjelaskan identitas lengkap, masa pemerintahan dan lokasi kerajaannya. Keunikan ini bukan tanpa alasan. Sayyid Quthb menjelaskan dalam azh-Zhilal, bahwa memang demikianlah karakter umum kisah-kisah Al-Qur’an. Tujuan utamanya bukan aspek kesejarahan, melainkan pelajaran (ibroh) yang dapat dipetik darinya.

Zulqarnain adalah penguasa adidaya. Al-Qur’an menggambarkannya dengan singkat tapi jelas, “Sesungguhnya Kami telah memberinya kekuasaan di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan [untuk mencapai] segala sesuatu”. (QS Al-Kahfi: 84). Ayat-ayat berikutnya semakin mengukuhkan kekuasaan tersebut. Zulqarnain melakukan perjalanan jauh ke ujung barat dan ujung timur, lalu perjalanan jauh lainnya ke sebuah negeri asing. Lantas, apa pelajaran yang dapat dipetik dari kisah penguasa besar ini?

Pertama; Asas peradaban Zulqarnain adalah ilmu. Menurut Ibn Abbas, seperti dinyatakan Ibn Katsir dalam at-Tafsir, as-sabab yang diberikan Allah kepada Zulqarnain adalah ilmu. Dengan ilmu inilah Zulqarnain meningkatkan kemampuan (al-qudrah) dan mengembangkan sarana (al-alah) sehingga mampu mencapai kemajuan-kemajuan besar dalam pemerintahannya.

Kedua; Menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan nilai-nilai wahyu. Falsafah hukum Zulqarnain adalah, menghapus kezaliman dengan menjatuhkan sanksi berat kepada pelakunya, dan memberi banyak kemudahan kepada orang-orang yang gemar kebaikan (QS Al-Kahfi: 87-88).

Kebijakan semacam ini sangat efektif dalam membangun kekuatan dalam negeri. Karena ketika orang-orang baik mendapat tempat, kemudahan dan balasan yang setimpal, sementara orang-orang zalim menerima sanksi, dipermalukan dan dijauhkan dari lingkaran kekuasaan, maka rakyat akan termotivasi untuk semakin baik dan produktif. Demikian yang diungkapkan Sayyid Quthb dalam azh-Zhilal.

Ketiga; Menjunjung kesetaraan, berbagi kemajuan, dan memakmurkan dunia dengan tetap bersikap rendah hati. Inilah prinsip kebijakan luar negeri Zulqarnain, terlebih lagi dengan negara yang lebih kecil dan lemah.

Dalam perjalanan ketiga, Zulqarnain tiba di sebuah negeri yang meskipun tampak indah dan kaya akan sumber daya alam, tapi masyarakatnya lemah dan terbelakang. Dikatakan lemah, karena mereka sering menjadi sasaran keganasan Ya’juj dan Ma’juj dan tidak berdaya untuk sekadar mempertahankan diri. Mereka juga terbelakang dalam banyak bidang, terutama budaya dan teknologi.

Ada dua indikator keterbelakangan yang dipaparkan Al-Qur’an. Pertama, mereka tidak menguasai bahasa Zulqarnain sehingga sulit berkomunikasi dengan penguasa besar tersebut, “la yakaduna yafqahuna qaula”. Padahal, sebagai penguasa peradaban dunia kala itu, bahasa Zulqarnain adalah bahasa internasional yang sangat populer. Kedua, ketika minta bantuan Zulqarnain untuk melindungi mereka dari Ya’juj dan Ma’juj, mereka hanya mengajukan pembangunan sebuah tembok biasa (as-sadd). Padahal saat itu Zulqarnain sudah menguasai teknologi konstruski tembok dengan meterial berlapis yang jauh lebih kuat (ar-radm).

Karena lemah dan terbelakang, wajar jika masyarakat ini memanfaatkan momentum kedatangan Zulqarnain, Sang Penguasa Adidaya, untuk mengiba dan memohon bantuan, agar dapat bertahan dan hidup lebih aman. Untuk memenuhi hajat asasi ini, mereka pun ‘nekat’ membayar jasa Zulqarnain dengan kekayaan alam mareka (al-kharj/al-kharaj).

Apa sikap Zulqarnain? Disinilah Zulqarnain menunjukkan kebesarannya sebagai penguasa adidaya. Dia menolak tegas bayaran tersebut. Baginya, kekuasaan tidak identik dengan keserakahan. Kelemahan dan keterbelakangan bangsa lain tidak dilihat sebagai kesempatan emas untuk mengeksploitasi dan mengeruk habis kekayaan alamnya untuk menunjang kesejahteraan negara maju. Bagi Zulqarnain, kekuasaan adalah amanah peradaban dari Allah swt yang manfaatnya harus dirasakan oleh seluruh penduduk dunia, “Apa yang dikuasakan Allah kepadaku adalah lebih baik [daripada bayaran itu]”. (QS Al-Kahfi: 95).

Zulqarnain tidak hanya memberi bantuan gratis, tapi juga melibatkan penduduk setempat dalam proyek berteknologi tinggi yang dibangunnya. Artinya, ada upaya pengalihan teknologi dan peningkatan kemampuan masyarakat terbelakang tanpa pamrih apa pun. Simaklah arahan-arahan Zulqarnain berikut, “Maka bantulah aku dengan kekuatan [manusia dan alat-alat], agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi”. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Zulqarnain, "Tiuplah [api itu]”. Hingga apabila besi itu sudah menjadi [merah seperti] api, diapun berkata, "Berilah aku tembaga [yang mendidih] agar aku tuangkan ke atas besi panas itu." (QS Al-Kahfi: 95-96).

Demikianlah keteladanan yang diberikan penguasa adidaya yang saleh. Kekuasaan tidak menjadi alat keegoan negara maju untuk tetap tampil sebagai ‘negara besar’, melainkan amanah peradaban yang harus berubah menjadi rahmat bagi semesta alam.[]

Sumber: Kolom Ibroh, Majalah Islam Sabili No. 18 TH.XVI Maret 2009